Gfr6TfGlBSOiGfY7BUW8GUrpBA==
  • Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh

Berpakaian Bebas, Lelaki Dipenjara: Mengapa Hukum Diam pada Pemicu Tapi Ganas pada Akibat?

Berpakaian Bebas, Lelaki Dipenjara: Mengapa Hukum Diam pada Pemicu Tapi Ganas pada Akibat?

Ketika Hukum Hanya Mengatur Akibat: Refleksi atas Ketidakseimbangan Aturan dan Keadilan Sosial

Oleh: Hamidul Umar – Penulis Reflektif & Pengamat Sosial

Sebagai warga negara, saya menghargai hukum. Tapi sebagai manusia yang berpikir, saya juga punya hak untuk bertanya: Apakah hukum kita benar-benar adil? Atau hanya terlihat adil di atas kertas?

Dalam beberapa kasus, saya melihat hukum kita seperti perangkap yang hanya menunggu korban jatuh, bukan pagar yang mencegah orang jatuh. Ia terlalu sibuk menghukum, tetapi lupa mencegah. Ia terlalu cepat menetapkan siapa yang bersalah, tapi lupa menelusuri apa yang menyebabkan seseorang salah.

⚖️ Hukum yang Menyentuh Akibat, Tapi Tidak Sebab

Bayangkan dua hal ini:

  1. Seorang pria dipenjara karena melakukan pelecehan atau bahkan perkosaan.
  2. Tidak ada satu pun aturan tegas yang membatasi cara berpakaian di ruang publik — walaupun itu bisa menjadi pemicu visual yang merangsang hawa nafsu secara biologis.

Apakah ini berarti saya menyalahkan perempuan? Tentu tidak. Tapi apakah negara hanya akan bertindak setelah kejadian buruk terjadi — dan tidak peduli terhadap sumber penyebab yang dibiarkan tumbuh liar?

Ini seperti membiarkan api menyala di ruang tamu, tapi marah saat rumah terbakar.

🧠 Adil Itu Bukan Tentang Siapa yang Dilindungi, Tapi Apa yang Diseimbangkan

Hukum hari ini terlalu responsif. Misalnya:

  • Ada perlindungan khusus untuk perempuan, tapi tidak ada pembatasan terhadap hal-hal yang merusak struktur sosial.
  • Ada pasal tentang asusila, tapi tidak ada batasan berpakaian di tempat umum.
  • Negara cepat menghukum pelaku, tapi lambat menyentuh budaya yang menciptakan perilaku.

Adil bukan berarti melindungi satu pihak dan membiarkan pihak lain menanggung risiko. Adil berarti mengatur semua aspek secara seimbang.

🔍 Jika Hukum Hanya Mengatur yang Terjadi, Maka Ia Terlambat

Saya ingin hukum hadir sebelum kerusakan terjadi, bukan setelahnya. Saya ingin hukum:

  • Mendidik, bukan hanya menghukum
  • Membentuk budaya, bukan hanya memadamkan api
  • Membuat standar, bukan hanya mencatat pelanggaran

Contoh sederhana:

Kenapa kita punya batas kecepatan mobil? Karena negara tahu, jika kecepatan dibiarkan bebas, maka kecelakaan tinggal tunggu waktu.
Lalu, kenapa tidak ada batasan berpakaian di ruang publik, padahal efek sosialnya nyata?

🧭 Kesimpulan: Hukum Harus Menjaga Keseimbangan Moral dan Sosial

Hukum bukan hanya tentang pasal dan hukuman, tapi tentang mencegah kerusakan dan menjaga nilai hidup bersama. Saya menulis ini bukan karena benci hukum, tapi karena saya ingin hukum menjadi penjaga nilai — bukan sekadar saksi terakhir sebelum semuanya terlambat.

Jika hukum hanya hadir setelah kerusakan terjadi, maka ia bukan pelindung. Ia hanya saksi.

🖋 Ditulis oleh: Hamidul Umar – Penulis Reflektif & Pemerhati Sosial
🌐 Website: www.hamidulumar.id

Berpakaian Bebas, Lelaki Dipenjara: Mengapa Hukum Diam pada Pemicu Tapi Ganas pada Akibat?

0